Konsekuensi Tauhid Rububiyah
Tauhid rububiyah memiliki banyak konsekuensi bagi hamba, diantaranya adalah:
- Mengikhlaskan ibadah kepada Allah semata (baca: tauhid uluhiyah)
- Ridha terhadap perintah dan larangan-Nya (baca: tunduk kepada syari’at)
- Ridha terhadap takdir yang ditetapkan-Nya (baca: sabar)
- Ridha terhadap rizki dan pemberian-Nya (baca: qona’ah)
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah menjelaskan, “Kemudian, sesungguhnya keimanan seorang hamba kepada Allah sebagai Rabb memiliki konsekuensi mengikhlaskan ibadah kepada-Nya serta kesempurnaan perendahan diri di hadapan-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Aku adalah Rabb kalian, maka sembahlah Aku.” (QS. al-Anbiya’: 92). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia, sembahlah Rabb kalian.” (QS. al-Baqarah: 21). Keberadaan Allah sebagai Rabb seluruh alam memiliki konsekuensi bahwa Allah tidak akan meninggalkan mereka dalam keadaan sia-sia atau dibiarkan begitu saja tanpa ada perintah dan larangan untuk mereka. Akan tetapi Allah menciptakan mereka untuk mematuhi-Nya dan Allah mengadakan mereka supaya beribadah kepada-Nya. Maka orang yang berbahagia diantara mereka adalah yang taat dan beribadah kepada-Nya. Adapun orang yang celaka adalah yang durhaka kepada-Nya dan lebih memperturutkan kemauan hawa nafsunya. Barangsiapa yang beriman terhadap rububiyah Allah dan ridha Allah sebagai Rabb maka dia akan ridha terhadap perintah-Nya, ridha terhadap larangan-Nya, ridha terhadap apa yang dibagikan kepadanya, ridha terhadap takdir yang menimpanya, ridha terhadap pemberian Allah kepadanya, dan tetap ridha kepada-Nya tatkala Allah tidak memberikan kepadanya apa yang dia inginkan.” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 97)
Dari al-‘Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan lezatnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim)
Ridha adalah merasa puas dan cukup dengan sesuatu serta tidak mencari lagi sesuatu yang lain bersamanya. Makna hadits ini adalah; orang tersebut tidak mencari dan berharap kecuali kepada Allah ta’ala semata, tidak mau berusaha kecuali di atas jalan Islam, dan tidak mau menempuh suatu jalan kecuali apabila sesuai dengan syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seseorang yang telah merasa ridha dengan sesuatu maka sesuatu itu akan terasa mudah baginya. Demikian pula seorang mukmin apabila iman telah meresap ke dalam hatinya maka akan terasa mudah segala ketaatan kepada Allah dan dia akan merasakan nikmat dengannya (lihat Syarh Muslim [2/86] cet. Dar Ibnu al-Haitsam)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Manusia itu, sebagaimana telah dijelaskan sifatnya oleh Yang menciptakannya. Pada dasarnya ia suka berlaku zalim dan bersifat bodoh. Oleh sebab itu, tidak sepantasnya dia menjadikan kecenderungan dirinya, rasa suka, tidak suka, ataupun kebenciannya terhadap sesuatu sebagai standar untuk menilai perkara yang berbahaya atau bermanfaat baginya. Akan tetapi sesungguhnya standar yang benar adalah apa yang Allah pilihkan baginya, yang hal itu tercermin dalam perintah dan larangan-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 89)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman, demikian pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Ayat ini bersifat umum mencakup segala permasalahan. Yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan hukum atas suatu perkara, maka tidak boleh bagi seorang pun untuk menyelisihinya dan tidak ada lagi alternatif lain bagi siapapun dalam hal ini, tidak ada lagi pendapat atau ucapan -yang benar- selain itu.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [6/423] cet. Dar Thaibah)
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidaklah beriman, sampai mereka menjadikanmu -Muhammad- sebagai hakim/pemutus perkara dalam segala permasalahan yang diperselisihkan diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit di dalam diri mereka, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa’: 65)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul, ketika menyeru kalian untuk sesuatu yang akan menghidupkan kalian. Ketahuilah, sesungguhnya Allah yang menghalangi antara seseorang dengan hatinya. Dan sesungguhnya kalian akan dikumpulkan untuk bertemu dengan-Nya.” (QS. al-Anfal: 24)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Sesungguhnya kehidupan yang membawa manfaat hanya bisa digapai dengan merespon seruan Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa yang tidak merespon seruan tersebut maka tidak ada kehidupan sejati padanya. Meskipun dia memiliki kehidupan ala binatang yang tidak ada bedanya antara dirinya dengan hewan yang paling rendah sekalipun. Oleh sebab itu kehidupan yang hakiki dan baik adalah kehidupan orang yang memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya secara lahir dan batin. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar hidup, walaupun tubuh mereka telah mati. Adapun selain mereka adalah orang-orang yang telah mati, meskipun badan mereka hidup. Oleh karena itu orang yang paling sempurna kehidupannya adalah yang paling sempurna dalam memenuhi seruan dakwah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya di dalam setiap ajaran yang beliau dakwahkan terkandung unsur kehidupan sejati. Barangsiapa yang kehilangan sebagian darinya maka dia kehilangan sebagian unsur kehidupan itu, bisa jadi di dalam dirinya terdapat kehidupan sekadar dengan responnya terhadap ajakan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat al-Fawa’id, hal. 85-86)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Benar-benar Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, serta kekurangan harta, lenyapnya nyawa, dan sedikitnya buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami ini adalah milik Allah, dan kami juga akan kembali kepada-Nya’. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan pujian dari Rabb mereka dan curahan rahmat. Dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (QS. al-Baqarah: 155-157)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah menimpa suatu musibah melainkan dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya. Dan Allah terhadap segala sesuatu Maha Mengetahui.” (QS. at-Taghabun: 11). ‘Alqomah berkata tentang maksud ayat ini, “Dia adalah seorang yang tertimpa musibah, maka dia menyadari bahwa hal itu datang dari Allah, oleh sebab itu dia pun merasa ridha dan pasrah.” Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tertimpa musibah kemudian bersabar maka Allah akan anugerahkan petunjuk ke dalam hatinya (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 345-346)
Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan dia bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan untuknya. Apabila tertimpa kesulitan dia bersabar, maka hal itu juga kebaikan untuknya.”(HR. Muslim)
Termasuk konsekuensi tauhid rububiyah adalah ridha atas rizki yang Allah berikan kepada kita. Karena harta, pangkat, dan jabatan bukanlah merupakan sebab kemuliaan seorang hamba. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya dengan memuliakannya dan memberikan nikmat kepadanya maka dia berkata, “Rabbku telah memuliakanku.” Akan tetapi apabila dia diberi ujian dengan dibatasi rizkinya maka dia berkata, “Rabbku telah menghinakanku.” Sekali-kali tidak…” (QS. al-Fajr: 15-17)
Allah ta’ala memberitahukan tentang tabi’at manusia yang sebenarnya, bahwasanya manusia adalah bodoh dan suka berbuat zalim. Tidak mengetahui dampak dan pengaruh segala urusan. Dia menyangka keadaan yang dialaminya akan terus berlangsung dan tidak sirna. Dia mengira bahwa pemuliaan kehidupan duniawi dari Allah kepada seseorang adalah bukti kemuliaan orang tersebut di sisi-Nya dan kedekatannya dengan Allah. Sehingga, tatkala Allah membatasi rizkinya sebatas apa yang dibutuhkannya dan tidak berlebihan, dia pun mengira Allah menghinakan dirinya. Allah membantah persangkaan ini dengan firman-Nya, “Sekali-kali tidak.” Maksudnya, tidak setiap orang yang diberikan kenikmatan dunia adalah orang yang mulia di sisi Allah. Sebagaimana pula, tidak setiap orang yang dibatasi rizkinya adalah orang yang hina di sisi-Nya. Sebab kekayaan dan kemiskinan, kelapangan dan kesempitan, itu semua adalah cobaan dari Allah untuk menguji hamba-Nya. Siapakah diantara mereka yang menunaikan kewajiban syukur dan sabar sehingga Allah akan membalas mereka dengan balasan yang melimpah. Dan siapakah diantara mereka yang tidak menunaikan kewajiban itu sehingga menyebabkan dirinya berhak mendapatkan siksaan yang amat berat (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 923-924)
Prioritas dan Tujuan Utama Dakwah Islam
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah -hai Muhammad-: Inilah jalanku, aku mengajak kepada Allah di atas landasan bashirah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Maha suci Allah, aku bukan tergolong bersama golongan orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Yang dimaksud dengan dakwah ila Allah (mengajak manusia menuju Allah) adalah mengajak mereka untuk mentauhidkan Allah, bukan dalam rangka meraih ambisi dunia, kepimpinan (baca: kursi), dan tidak juga kepada hizbiyah/fanatisme golongan (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 45).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Karena tauhid [uluhiyah] adalah cabang keimanan yang tertinggi maka mendakwahkannya merupakan dakwah yang paling utama. Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah berkata, “Oleh sebab itu para da’i yang menyerukan tauhid adalah da’i-da’i yang paling utama dan paling mulia. Sebab dakwah kepada tauhid merupakan dakwah kepada derajat keimanan yang tertinggi.” (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 16)
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Aqidah yang benar merupakan pondasi tegaknya agama dan syarat sah diterimanya amalan. Hal itu sebagaimana yang difirmankan oleh Allah (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. al-Kahfi: 110). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu: Seandainya kamu berbuat syirik niscaya akan lenyap seluruh amalmu, dan kamu pasti termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Ingatlah, untuk Allah agama/ketaatan yang murni itu.” (QS. az-Zumar: 2-3). Maka ayat-ayat yang mulia ini serta ayat-ayat lain yang semakna -dan itu banyak jumlahnya- menunjukkan bahwa amalan tidak akan diterima kecuali apabila bersih dari syirik. Oleh sebab itulah fokus perhatian para rasul -semoga salawat dan keselamatan dicurahkan Allah kepada mereka- menjadikan perbaikan aqidah sebagai prioritas utama dakwahnya…” (lihat at-Tauhid li ash-Shaff al-Awwal al-‘Aali, hal. 9-10)
Imam Ahli Hadits abad ini Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menjelaskan, “Nuh –‘alaihis salam– telah menetap di tengah-tengah kaumnya selama seribu tahun kurang lima puluh (baca: 950 tahun). Beliau mencurahkan waktunya dan sebagian besar perhatiannya untuk berdakwah kepada tauhid. Meskipun demikian, ternyata kaumnya justru berpaling dari ajakannya. Sebagaimana yang diterangkan Allah ‘azza wa jalla di dalam Muhkam at-Tanzil (baca: al-Qur’an) dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan mereka -kaum Nuh- berkata: Janganlah kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan kalian; jangan tinggalkan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.” (QS. Nuh: 23). Maka hal ini menunjukkan dengan sangat pasti dan jelas bahwasanya perkara terpenting yang semestinya selalu diperhatikan oleh para da’i yang mengajak kepada Islam yang benar adalah dakwah kepada tauhid. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah tabaraka wa ta’ala (yang artinya), “Maka ketahuilah, bahwa tiada sesembahan -yang benar- selain Allah.” (QS. Muhammad: 19). Demikianlah yang dipraktekkan sendiri oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang beliau ajarkan.” (lihat Ma’alim al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah, hal. 42)
Salah satu alasan yang semakin memperjelas betapa pentingnya -bahkan wajib- memprioritaskan dakwah kepada manusia untuk beribadah kepada Allah (baca: dakwah tauhid) adalah karena inilah tujuan utama dakwah, yaitu untuk mengentaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah menuju penghambaan kepada Allah semata. Selain itu, tidaklah ada kerusakan dalam urusan dunia yang dialami umat manusia melainkan sebab utamanya adalah kerusakan yang mereka lakukan dalam hal ibadah mereka kepada Rabb jalla wa ‘ala (lihat Qawa’id wa Dhawabith Fiqh ad-Da’wah ‘inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 249 oleh ‘Abid bin Abdullah ats-Tsubaiti penerbit Dar Ibnul Jauzi cet I, 1428 H)
Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah memaparkan, bahwa manusia itu bermacam-macam. Bisa jadi mereka adalah orang yang tidak mengerti tauhid -secara global maupun terperinci- maka orang semacam ini jelas wajib untuk mempelajarinya. Atau mereka adalah orang yang mengerti tauhid secara global tetapi tidak secara rinci maka orang semacam ini wajib belajar rinciannya. Atau mereka adalah orang yang telah mengetahui tauhid secara global dan terperinci maka mereka tetap butuh senantiasa diingatkan tentang tauhid serta terus mempelajari dan tidak berhenti darinya. Jangan berdalih dengan perkataan, “Saya ‘kan sudah menyelesaikan Kitab Tauhid.” atau, “Saya sudah menuntaskan pembahasan masalah tauhid.” atau, “Isu seputar tauhid sudah habis, jadi kita pindah saja kepada isu yang lain.” Tidak demikian! Sebab, tauhid tidak bisa ditinggalkan menuju selainnya. Akan tetapi tauhid harus senantiasa dibawa bersama yang lainnya. Kebutuhan kita terhadap tauhid lebih besar daripada kebutuhan kita terhadap air dan udara (lihat dalam video ceramah beliau al-I’tisham bi as-Sunnah, al-sunna.net)
Oleh sebab itu sudah semestinya -bahkan wajib- bagi para penimba ilmu dan para da’i untuk memperhatikan masalah ini dengan baik dan menjadikan dakwah tauhid serta pengingkaran terhadap syirik dan menepis syubhat sebagai prioritas utama dalam dakwah mereka. Inilah yang harus dilakukan dan inilah dakwahnya para rasul ‘alaihimush sholatu was salam. Sebab segala masalah lebih ringan dibanding syirik. Selama syirik masih merajalela, bagaimana mungkin anda justru mengingkari masalah-masalah yang lain! Kita harus memulai dengan pengingkaran terhadap syirik terlebih dulu dan kita bebaskan kaum muslimin dari keyakinan-keyakinan jahiliyah ini. Kita jelaskan kepada mereka dengan hujjah/dalil dan bukti yang jelas, dan apabila memungkinkan dengan jihad fi sabilillah, hingga ajaran Islam yang hanif ini kembali kepada kaum muslimin. Semuanya bisa berjuang sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya masing-masing, di mana pun dan kapan pun. Wajib bagi para da’i untuk tidak melalaikan masalah ini yang akan menyebabkan mereka justru lebih memperhatikan masalah-masalah lain dan mengerahkan segenap perjuangan dan usaha mereka untuk mengatasi hal itu. Janganlah mereka menutup mata dari realita umat manusia yang terjerumus di dalam syirik dan penyembahan kepada tempat-tempat keramat serta berkuasanya para penyebar ajaran khurafat dan merebaknya ajaran sufi yang menjajah akal sehat manusia. Ini adalah perkara yang tidak boleh didiamkan. Setiap dakwah yang tidak mengarah kepada pelarangan dari kerusakan semacam itu adalah dakwah yang cacat, dakwah yang tidak baik, atau dakwah yang tidak akan membuahkan hasil (lihat Syarh Kitab Kasyfu asy-Syubuhat, hal. 24 oleh Syaikh Shalih bin Fauzan. Cet. Ar-Risalah, 1422 H)